Nyonya Meneer Bangkrut Diduga Dipicu Masalah Warisan - Pabrik jamu Nyonya Meneer bangkrut setelah gagal membayar utang Rp 7,04 miliar kepada kreditornya.
Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Dwi Ranny Pertiwi, perusahaan jamu tak dapat dipungkiri memiliki masalah dalam hal keuangan ataupun kepemilikan. Sebelum bangkrut dan dinyatakan pailit, perusahaan jamu yang akan berusia 100 tahun dua tahun lagi itu malah mengalihkan kepemilikan.
“Memang beberapa perusahaan lain itu sudah beralih kepemilikan. Untuk sampai ke pengalihan itu prosesnya lebih elegan saja, enggak sampai ada masalah sudah berpindah tangan,” tutur Dwi Ranny Pertiwi saat dihubungi Tempo, Selasa, 8 Agustus 2017.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Semarang memutuskan Perusahaan jamu PT Nyonya Meneer untuk dipailitkan, akibat kegagalan membayarkan kewajiban utang kepada krediturnya. Putusan itu dijatuhkan dalam sidang pada Kamis, 3 Agustus 2017. Pemohon menyatakan PT Nyonya Meneer tidak memenuhi kewajiban untuk membayar utangnya sebesar Rp 7,04 miliar. Kurator juga telah ditunjuk untuk menyelesaikan kewajiban Nyonya Meneer kepada kreditor. Nyonya Meneer juga masih berutang Rp 10 miliar kepada para karyawan yang diberhentikan.
Dwi Ranny menuturkan, sejumlah perusahaan jamu di Indonesia dirintis secara turun temurun. Seperti misalnya Jamu Jago yang saat ini dimiliki oleh Seniman Jaya Suprana, merupakan pewaris dari usaha keluarga yang dirintis oleh pasangan suami istri Phoa Tjong Kwan (TK Suprana) dan Tjia Kiat Nio yang membuat bisnis Djamoe Djago yang dirintis sejak 1910.
Menurut Dwi Ranny, masalah lain yang menjadi pemicu tutupnya pabrik jamu bisa dipicu oleh penerusnya. Pada awal dirintis pertama, mungkin jamu tersebut dirintis oleh sang ayah, ibu atau keduanya. Namun pada generasi kedua, mereka memiliki anak keturunan, begitu juga pada generasi ketiga, yang memunculkan cucu dari perintis yang membuat konflik internal di perusahaan tak dapat dihindarkan.
“Itulah kalau tak bisa diselesaikan dengan baik, kalau tidak bisa bertahan lagi ya kesepakatannya dijual sebelum terjadi masalah lebih besar, lebih baik berpindah tangan, ada kok beberapa perusahan jamu besar yang beralihnya juga dengan baik. Misalnya daripada banyak masalah, beban, kemudian dilepas,” tuturnya.
Dwi Ranny melihat kasus Jamu Nyonya Meneer merupakan masalah yang fenomenal, karena ahli waris berusaha untuk mempertahankan warisan dari usaha nenek moyangnya. “Mungkin Nyonya Meneer fenomenal ya, karena ahli waris ingin mempertahankan nama Nyonya Meneernya. Ini kendalanya saja, jadi sangat disayangkan,” ucapnya.
Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Dwi Ranny Pertiwi, perusahaan jamu tak dapat dipungkiri memiliki masalah dalam hal keuangan ataupun kepemilikan. Sebelum bangkrut dan dinyatakan pailit, perusahaan jamu yang akan berusia 100 tahun dua tahun lagi itu malah mengalihkan kepemilikan.
“Memang beberapa perusahaan lain itu sudah beralih kepemilikan. Untuk sampai ke pengalihan itu prosesnya lebih elegan saja, enggak sampai ada masalah sudah berpindah tangan,” tutur Dwi Ranny Pertiwi saat dihubungi Tempo, Selasa, 8 Agustus 2017.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Semarang memutuskan Perusahaan jamu PT Nyonya Meneer untuk dipailitkan, akibat kegagalan membayarkan kewajiban utang kepada krediturnya. Putusan itu dijatuhkan dalam sidang pada Kamis, 3 Agustus 2017. Pemohon menyatakan PT Nyonya Meneer tidak memenuhi kewajiban untuk membayar utangnya sebesar Rp 7,04 miliar. Kurator juga telah ditunjuk untuk menyelesaikan kewajiban Nyonya Meneer kepada kreditor. Nyonya Meneer juga masih berutang Rp 10 miliar kepada para karyawan yang diberhentikan.
Dwi Ranny menuturkan, sejumlah perusahaan jamu di Indonesia dirintis secara turun temurun. Seperti misalnya Jamu Jago yang saat ini dimiliki oleh Seniman Jaya Suprana, merupakan pewaris dari usaha keluarga yang dirintis oleh pasangan suami istri Phoa Tjong Kwan (TK Suprana) dan Tjia Kiat Nio yang membuat bisnis Djamoe Djago yang dirintis sejak 1910.
Menurut Dwi Ranny, masalah lain yang menjadi pemicu tutupnya pabrik jamu bisa dipicu oleh penerusnya. Pada awal dirintis pertama, mungkin jamu tersebut dirintis oleh sang ayah, ibu atau keduanya. Namun pada generasi kedua, mereka memiliki anak keturunan, begitu juga pada generasi ketiga, yang memunculkan cucu dari perintis yang membuat konflik internal di perusahaan tak dapat dihindarkan.
“Itulah kalau tak bisa diselesaikan dengan baik, kalau tidak bisa bertahan lagi ya kesepakatannya dijual sebelum terjadi masalah lebih besar, lebih baik berpindah tangan, ada kok beberapa perusahan jamu besar yang beralihnya juga dengan baik. Misalnya daripada banyak masalah, beban, kemudian dilepas,” tuturnya.
Dwi Ranny melihat kasus Jamu Nyonya Meneer merupakan masalah yang fenomenal, karena ahli waris berusaha untuk mempertahankan warisan dari usaha nenek moyangnya. “Mungkin Nyonya Meneer fenomenal ya, karena ahli waris ingin mempertahankan nama Nyonya Meneernya. Ini kendalanya saja, jadi sangat disayangkan,” ucapnya.